Pada masa penjajahan Kompeni Belanda, banyak tokoh-tokoh Banjar yang berjuang memperjuangkan hak tanah air tercintanya. Salah satu tokoh tersebut adalah Gusti Buasan, pemimpin pasukan gerilya di wilayah Utara Tabalong. Lantas bagaimana cerita perjuangannya? Berikut informasinya.
Inilah makam Gusti Buasan, salah satu pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang dikuburkan di Lampahungin, Desa Bongkang, Kecamatan Haruai. Makam ini berada di dalam komplek Pondok Pesantren Al-Hidayah.
Diriwayatkan oleh Mahlan, Kepala Desa Lampahungin, dan Haji Diris, Penghulu Murung Pudak, tanggal 1 Mei 1991, yang kemudian ditulis ulang oleh Gusti Irwan Rusadi menyebutkan bahwa Gusti Buasan lahir pada tahun 1849 di Desa Pulau, Kecamatan Kelua.
Kemudian di usianya yang baru menginjak 11 tahun pada tahun 1860, Gusti Buasan sudah terlibat perang menghadapi Kompeni Belanda hingga tahun 1904.
Pada 11 Juni 1860, Pemerintah Hindia-Belanda melalui Residen F.N. Nieuwenhuizen mengumumkan akan menghapuskan hak tanah Kerajaan Kuin, Martapura, dan Amuntai serta memberi ultimatum kepada Pangeran Hidayat untuk menyerah kepada Kompeni Belanda. Keputusan ini menimbulkan percikan kemarahan rakyat Banjar. Mereka pun mengangkat senjata untuk menentang Kompeni Belanda.
Dibawah pimpinan Pangeran Antasari, serta didampingi Penghulu Rasyid dan Datu Bagulung, rakyat Banjar di wilayah Banua Lawas, Kelua, Tanjung, Tanta, dan sekitarnya memproklamirkan pernyataan perang terhadap Kompeni Belanda tanggal 17 Agustus 1860, ditandai dengan pengibaran bendera berlukiskan keris bersilang warna merah di Kota Tanjung.
Gusti Buasan yang saat itu termasuk prajurit Angkutan Muda, bersama orang tua dan adiknya, Gusti Barakit, menjadi bagian pasukan Penghulu Rasyid.
Pertempuran antara rakyat Banjar dengan serdadu Belanda pun pecah dari tanggal 17 sampai dengan 19 Agustus 1860. Rakyat Banjar harus menelan pil pahit kekalahan atas pertempuran ini, sehingga Kota Tanjung dan sekitarnya dikuasai penjajah.
Perlawanan rakyat Banjar terhadap penjajah Belanda terus digencarkan hingga terjadi pertempuran dahsyat di Banua Lawas tahun 1965 yang menyebabkan kematian Penghulu Rasyid. Atas tragedi ini, para prajurit Penghulu Rasyid melarikan diri ke wilayah Utara Tabalong, termasuk keluarga Gusti Buasan.
Keluarga Gusti Buasan melarikan diri ke daerah Marindi. Di perkampungan pelarian tersebut terbentuklah suatu kelompok yang dipimpin seorang ulama bernama Gusti Abu Bakar. Gusti Abu Bakar menunjuk Gusti Buasan menjadi pemimpin pasukan gerilya di wilayah utara Tabalong.
Gusti Buasan dibantu oleh sang istri dan adiknya, Gusti Barakit, serta pasukan gerilya menyerang pos-pos Belanda dari Mahe, Haruai, Batu Pulut, Lampahungin, Bongkang, Muara Uya, Lumbang, dan Murung Bulan atau Tabalong Kiwa.
“Perjuangan mereka itu adalah secara diam-diam, menyerang pos-pos Belanda yang ada di Haruai, Mahe, sampai ke wilayah utara di Muara Uya. Untuk masa perjuangan Gusti Buasan di wilayah utara Kabupaten Tabalong ini kurang lebih sekitar tahun 1865 sampai 1904,” kata Gusti Irwan Rusadi, Keturunan Gusti Abu Bakar.
Sementara itu, juru pelihara makam Gusti Buasan, Wahyudi, mengatakan, Gusti Buasan meninggal akibat ulah pengkhianat. Ia menceritakan, pada tahun 1904, Gusti Buasan bersama istri dan Gusti Barakit, tanpa pengawalan, mengunjungi prajuritnya yang sakit di Lampahungin. Melihat celah tersebut, salah seorang warga Lampahungin yang berkhianat melaporkan ke pada Kompeni Belanda.
Pada malam hari, serdadu Belanda mengelilingi rumah prajurit Gusti Buasan yang sakit dan melancarkan tembakan beruntun ketika Gusti Buasan bersama istri dan Gusti Barakit hendak menaiki tangga masuk rumah. Gusti Buasan sempat terkena peluru pada paha kanan sebelum berguling dan bersembunyi di semak-semak. Sedangkan istri dan Gusti Barakit berhasil mengamankan diri dan bersembunyi di tepi sungai Mantikus, sekitar 300 meter dari lokasi makam Gusti Buasan.
Sepanjang malam, serdadu Belanda tidak berhasil menemukan keberadaan Gusti Buasan, istri, dan Gusti Barakit. Pagi harinya, saat serdadu Belanda kembali ke Tanjung, masyarakat Lampahungin melakukan pencarian dan berhasil menemukan Gusti Buasan. Namun karena kondisi Gusti Buasan yang telah tertembak dan pengobatan secara tradisional, nyawa Gusti Buasan tidak dapat diselamatkan.
Kemudian Gusti Buasan dimakamkan di tempat persembunyiannya, yang sekarang menjadi cagar budaya Makam Gusti Buasan. Wahyudi pun mempersilakan bagi siapa pun yang ingin berziarah di sini, yang penting tetap menjaga adab, etika, dan norma agama yang berlaku.
“Kalau untuk ziarah, langsung saja Pak, artinya tidak perlu minta izin, karena kita tidak berumah di sini. Tidak bermukim di lokasi ini. Jadi dipersilakan saja,” ujar Wahyudi, Juru Pelihara Makam Gusti Buasan
Keluarga Wahyudi telah dipercaya menjadi Juru Pelihara Makam Gusti Buasan secara turun temurun, karena memiliki garis keturunan Pagustian, sebutan bangsawan Banjar. Ia menjadi Juru Pelihara sejak tahun 2014, menggantikan ayahnya yang berusia 60 tahun pada saat itu, karena apabila melewati usia 60 tahun tidak boleh menjadi Juru Pelihara.
Wahyudi pun mengaku tidak mengetahui secara pasti sejak tahun berapa Makam Gusti Buasan ditetapkan pemerintah menjadi cagar budaya. Yang jelas, keberadaan makam ini sudah diketahui pemerintah sejak dipegang oleh ayahnya.
(Alfi Syahrin, TV Tabalong)